HADIST TENTANG TA’ZIR

Hadits ta’zir

َعَنْ أَبِي بُرْدَةَ اَلْأَ نْصَارِيِّ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( لاَ يُجْلَدُ فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ, إِلَّا فِي حَدِّ مِنْ حُدُودِ اَللَّهِ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya : dari abu burdah al-anshori bahwa ia mendengar nabi saw. Bersabda “tidak boleh dicambuk lebih dari sepuluh cambukan, kecuali jika melanggar suatu had (hukuman) Yang ditentukan allah ta’ala”. Muttafaq alaihi.

Maksud dari hadits ini ialah :

  1. Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
  2. Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim.
  3. Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadist di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.
  4. Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.

 

َوَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( أَقِيلُوا ذَوِي اَلْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا اَلْحُدُودَ )  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ. وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( مَا كُنْتُ لِأُقِيمَ عَلَى أَحَدٍ حَدًّا, فَيَمُوتُ, فَأَجِدُ فِي نَفْسِي, إِلَّا شَارِبَ الْخَمْرِ; فَإِنَّهُ لَوْ مَاتَ وَدَيْتُهُ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ 

Artinya : dari aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Ampunilah orang-orang yang baik dari ketergelinciran (berbuat salah yang tidak disengaja) mereka, kecuali melanggar had.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi. Ali Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku tidak menjalakan had kepada seseorang kemudian ia mati dan aku berduka cita, kecuali peminum arak. Sesungguhnya jika ia mati, akan kubayar dendanya. Riwayat Bukhari.

Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.

Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.

Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”

َوَعَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مِنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ )  رَوَاهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ 

Artinya : Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa terbunuh karena membela hartanya, ia mati syahid.” Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ خَبَّابٍ قَالَ : سَمِعْتَ أَبِي رضي الله عنه يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( تَكُونُ فِتَنٌ, فَكُنْ فِيهَا عَبْدَ اَللَّهِ اَلْمَقْتُولَ, وَلَا تَكُنْ اَلْقَاتِلَ )  أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ

Artinya : Abdullah Ibnu Khobbab Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar ayahku berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Akan ada fitnah-fitnah, maka jadilah engkau hamba Allah yang terbunuh dan jadi pembunuh.” Riwayat Ibnu Abu Khoisyamah dan Daruquthni.

demikian, semoga bermanfaat.

Jarimah Ta’zir

pengertian : secara etimologi, lafadz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili.

secara terminologi, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :

والّتعزيرتأدبعلىذنوبلمتشرعفيهاالحدود

“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.

Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah atau tindak pidana yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha/ahli Fiqh, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman/sanksi dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana)

Ta’zir juga dapat dipahami sebagai jarimah ta’zir yang terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

macam-macam sanksi Ta’zir

Secara garis besar macam-macam ta’zir dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu sebagai berikut:

  1. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
  • Hukuman Mati

Hukuman mati untuk jarimah ta’zir hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya dengan syarat Bila pelaku merupakan seorang yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati dan harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.

Sebagian fuqaha syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat dan juga kepada para pelaku homoseksual (liwath) tanpa membedakan antara muhsan dengan ghairu muhsan. Adapun Ulama Hanafiyah memberikan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan berulang-ulang. Sedangkan Ulama Malikiyah dan Hanabilah memberikan hukuman mati ini untuk jarimah-jarimah ta’zir tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi.

  • Hukuman Jilid (Dera)

Alat yang digunakan untuk hukuman jilid ini adalah cambuk yang ukurannya sedang  (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil). Hal ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dengan alasan bahwa sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.

Hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum. sebab tujuannya memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya. Oleh karena itu cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala melainkan diarahkan ke punggung. Hal ini didasarkan kepada atsar sahabat Umar kepada eksekutor jilid.

إِيَّاكَأَنْتَضْرِبَالرَّأْسَوَالْفَرْجَ

“Hindarilah untuk memukul kepala dan farji”

  1. Hukuman yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
  • Hukuman Penjara

Hukum penjara dalam Syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu :

  • Hukuman Penjara Terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan, penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan dengan berbuka pada siang hari tanpa udzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang berperkara di depan sidang, dan saksi palsu.
  • Hukuman Penjara Tidak Terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum itu mati atau sampai ia bertobat. Dalam istilah lain bisa disebut dengan hukuman penjara seunur hidup.Hukuman ini dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya, misalnya seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga.
  • Hukuman Pengasingan, Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk tindak pidana hirabah (perampokan) . Namun dalam praktiknya, hukuman tersebut juga diterapkan sebagai hukuman ta’zir, yaitu dikenakan terhadap orang yang berprilaku mukhannast (waria), tindak pidana pemalsuan terhadap al-Qur’an dan pemalsuan stempel Baitul Mal. Hukuman pengasingan ini diberikan sebab dikhawatirkan berpengaruh kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang. Adapun tempat pengasingannya diperselisihkan oleh para fuqaha, menurut Imam Malik bin Annas pengasingan dilakukan dari negeri Islam ke negeri bukan Islam. Menurut Umar bin Abdul Aziz dan Said bin Jubayyir pengasingan dari satu kota ke kota lain.
  1. Hukuman Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta

Hukuman ta’zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta si pelaku untuk diri hakim atau untuk kas negara, melainkan hanya menahannya untuk sementara waktu. Namun jika pelakunya tidak bisa diharapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasruf- kan hartanya untuk kemaslahatan. Imam Ibnu Taimiyah membagi hukum ta’zir berupa harta ini kepada tiga bagian, yaitu :

  • Menghancurkan (الإتلاف), penghancuran ini berlaku terhadap barang-barang dan perbuatan/sifat yang mungkar, seperti penghancuran patung milik orang Islam, penghancuran alat dan tempat minum khamr, dll.
  • Mengubah (التّغيير), mengubah harta pelaku antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan memotong bagian kepalanya sehingga mirip dengan pohon.
  • Memiliki (التّمليك), pemberian hukuman ini antara lain seperti keputusan Rasulallah melipatgandakan denda bagi seorang yang mencuri buah-buahan, di samping hukuman jilid dan juga keputusan khalifah Umar bin Khattab orang yang menggelapkan barang temuan. Selain denda hukuman ta’zir yang berupa harta adalah penyitaan atau perampasan harta.
  1. Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain
  • Peringatan Keras, Peringatan keras dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan mengutus seorang kepercayaan hakim yang menyampaikan kepada pelaku. Isi peringatan itu misalnya: “ Telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan kejahatan….Oleh karena itu jangan kau lakukan lagi.”. Hal itu dilakukan karena hakim menganggap bahwa perbuatan yang di lakukan pelaku tidak terlalu berbahaya.
  • Dihadirkan di Hadapan Sidang, Pelaku dihadirkan di hadapan sidang apabila membandel atau perbuatannya cukup membahayakan. Di hadapan sidang ia juga diberi peringatan keras namun kali ini diucapkan. langsung oleh hakim. Bagi orang tertentu hukuman seperti ini sudah cukup, karena sebagian orang ada yang merasa takut dan gemetar dalam menghadapi meja hijau. Hukuman ini diberikan terhadap pelaku tindak pidana ringan yang dilakukan pertama kalinya.
  • Nasihat, Ibnu Abidin yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir mengemukakan bahwa yang dimaksud nasihat adalah mengingatkan pelaku apabila ia lupa dan mengajarinya apabila ia tidak mengerti. Sama seperti dua hukum sebelumnya, hukum nasihat ini juga diterapkan bagi pelaku-pelaku pemula yang melakukan tindak pidana, bukan karena kebiasaan melainkan karena kelalaian.
  • Celaan (Taubikh),Imam al-Mawardi mengemukakan bahwa taubikh ini bisa dilakukan oleh hakim dengan memalingkan muka dari hadapan terdakwa yang menunjukan ketidaksenangannya, atau memandangnya dengan muka yang masam dan senyuman sinis. Pada intinya celaan ini bisa dilakukan oleh hakim dengan berbagai cara dan berbagai perkataanyang dikehendakinya yabg diperkirakan dapat mencegah pelaku dari tindakan pidana yang pernah dilakukannya.
  • Pengucilan, Pengucilan adalah melarang pelaku untuk berhubungan dengan orang lain dan sebaliknya melarang masyarakat berhubungan dengannya. Hukuman ini mungkin bisa lebih efektif jika pengucilan itu dilakukan dalam bentuk tidak diikutsertakannya pelaku dalam kegiatan kemasyarakatan.
  • Pemecatan (Al-‘azl), Hukuman ta’zir berupa pemberhentian dari pekerjaan atau jabatan diterapkan kepada setiap pegawai yang melakukan jarimah, baik yang berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannyamaupun dengan hal-hal lainnya. Contohnya : Pegawai yang mnerima suap, korupsi, nepotisme, zalim terhadap bawahan atau rakyat, prajurit yang kabur dalam pertempuran dan hakim yang memutuskan perkara tanpa dasar hukum yang telah ditetapkan.
  • Pengumuman Kesalahan secara Terbuka (at-Tasyhir), Dalam buku as-Sindi dari Jami’ al-‘Itabi yang dikutip oleh Abdul Aziz Amir, tasyhir dilakukan dengan mengarak pelaku ke seluruh negeri dan di setiap tempat selalu diumumkan kesalahan/tindak pidana yang telah ia lakukan. Jarimah-jarimah yang bisa dikenakan hukuman tasyhir antara lain: Saksi palsu, pencurian, kerusakan akhlak, kesewenang-wenangan hakim dan menjual barang-barang yang diharamkan seperti bangkai dan babi. Penerapan tasyhir tidak dimaksudkan untuk menyebarluaskan kejahatan dan kejelekan pelaku, melainkan untuk mengobati mentalnya agar ia berubah menjadi orang yang lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya atau bahkan melakukan kejahatan yang baru.

Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

  1. Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
  2. Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
  3. Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.

demikian sedikit pembahasan tentang Ta’zir yang merupakan salah satu kajian Hukum dalam Hukum Pidana Islam.